Thomi's Blog
Friday, September 16, 2011
Tuesday, August 2, 2011
Lukisan Karya Rusli
Tanah Lot / Tanah Lot (1977)
Lukisan ini merupakan abstraksi pemandangan Tanah Lot Bali yang sangat terkenal itu. Akan tetapi, sebagaimana lukisan Rusli lainnya, yang lebih dipentingkan adalah suasana puitis abstraksi objek itu lewat goresan-goresannya yang essensial. Lebih dari itu, Rusli juga sangat menyukai warna, sehingga struktur dan impresi objek-objek itu lahir lewat intensitas warna-warna. Dalam lukisan ini bukit Tanah Lot tersusun lewat jalinan garis-garis warna yang lincah. Untuk merepresentasikan laut, Rusli menggunakan lima tarikan garis besar berwarna biru di sekitar bukit. Dengan meletakkan ego di atas bukit Tanah Lot, Rusli menjadi sempurna sebagai essensialis yang menyeleksi objek-objeknya. Dalam ritme yang lincah, likusan-lukisannya juga selalu terjaga dalam komposisi yang ketat.
Dalam dunia modern, ketika seniman menhadapi berbagai fenomena dunia yang semakin rumit dan semakin cepat perubahannya, maka ia perlu melakukan intensifikasi dalam pengamatannya. Untuk itu dalam pergulatannya dengan objek-objek, pelukis akan melakukan seleksi dan juga proses maturasi (perenungan) pada objek-objeknya. Dalam proses melukis Rusli lebih dahulu menggali objeknya lewat pengamatan dan perenungan. Proses untuk mematangkan perenungan memerlukan waktu lebih lama dibandingkan mengungkapkannya, apalagi dengan teknik ala prima yang sekali gores jadi. Objek yang dituangkan lewat garis-garis transparan dan ditempatkan pada ruang-ruang kosong, menghadirkan kejernihan pergulatan Rusli ketika menangkap esensi objek-objek. Di sinilah para pengamat melihatnya seperti proses melahirkan puisi-puisi Haiku dalam kanvas.
Kecenderungannya yang demikian merupakan fenomena seni lukis liris (curahan hati) yang jarang diikuti pelukis-pelukis lain di Indonesia pada masa itu, yaitu sekitar tahun 1950-an. Untuk itu, waktu ia pameran di Stedelijk Museum Amsterdam, di Kunst Zaal Plaats Den Haag, dan Ismeo Roma, ia mendapat sambutan yang hangat dari para penulis Barat sebagai master dengan teknik yang sempurna. Lukisan Rusli dikatakan sebagai neoimpresionisme, semi abstrak atau kadang-kadang ekspresionistis.
Lukisan Karya Popo Iskandar
Kucing / The Cat (1975)
Lukisan Popo Iskandar “Kucing”, 1975 mengungkapkan salah satu dari berbagai karakter yang pernah dibuat dengan objek binatang. Dengan deformasi yang mengandalkan efek-efek goresan yang spontan dan transparan, binatang itu seakan baru bangkit dari tidur dan mengibaskan badannya. Dengan warna hitam belang-belang putih, kucing ini tampak sebagai sosok binatang yang misterius.
Popo Iskandar adalah dikenal sebagai pelukis yang sangat esensial dalam menangkap objek-objeknya. Namun demikian, kecenderungan itu tidak sama dengan Rusli yang lebih mengadalkan kekuatan garis dan warna. Popo masih mengembangkan berbagai unsur visual lain dan cara pengolahannya. Hal itu bisa dilihat misalnya pada pengolahan nilai tekstur, efek-efek teknik transparan atau opaque dalam medium cat, maupun pengolahan deformasi dan komposisi objek-objeknya. Di samping itu, pelukis ini juga selalu melakukan penggalian psikologis untuk menampilkan esensi dan ekspresi objek yang akan dilukis. Dengan demikian karakter objek-objek itu bisa diungkapkan secara khas. Dalam serial kucing, ia menggali esensi binatang jinak, lucu, indah bahkan juga bisa memancarkan sifat-sifat misterius.
Dalam penghayatan objek-objeknya, Popo memang berhasil menampilkan karakter-karakter yang esensial. Dengan demikian dapat dilihat misalnya, ia begitu piawai menampilkan kegagahan, kejantanan, dan nilai-nilai artistik pada objek ayam jago dan kuda. Dalam intensitas penghayatan juga dapat dilihat bagaimana rumpun-rumpun bambu yang ramping menjadi irama yang puitis dalam kanvasnya. Dari berbagai serial objek-objek itu, yang paling fenomenal dan akhirnya menjadi ciri identitas kepelukisan Popo Iskandar adalah objek kucing. Dalam seni lukis modern Indonesia, pelukis Popo oleh para pengamat dimasukkan sebagai seorang modernis yang berhasil meletakkan azas kemurnian kreativitas individual dalam karya-karyanya. Esensi karakteristik dari objek-objek dalam ruang imajiner itu merupakan tanda yang kuat dalam pencapaiannya.
Kucing / The Cat (1975)
Cat minyak di atas kanvas / Oli on canvas, 120 x 145 cm, Inv. 150/SG/A
Lukisan Karya Raden Saleh
Badai / The Storm (1851)
Lukisan Raden Saleh yang berjudul “Badai” ini merupakan ungkapan khas karya yang beraliran Romatisme. Dalam aliran ini seniman sebenarnya ingin mengungkapkan gejolak jiwanya yang terombang-ambing antara keinginan menghayati dan menyatakan dunia (imajinasi) ideal dan dunia nyata yang rumit dan terpecah-pecah. Dari petualangan penghayatan itu, seniman cenderung mengungkapkan hal-hal yang dramatis, emosional, misterius, dan imajiner. Namun demikian para seniman romantisme sering kali berkarya berdasarkan pada kenyataan aktual.
Dalam lukisan “Badai” ini, dapat dilihat bagaimana Raden Saleh mengungkapkan perjuangan yang dramatis dua buah kapal dalam hempasan badai dahsyat di tengah lautan. Suasana tampak lebih menekan oleh kegelapan awan tebal dan terkaman ombak-ombak tinggi yang menghancurkan salah satu kapal. Dari sudut atas secercah sinar matahari yang memantul ke gulungan ombak, lebih memberikan tekanan suasana yang dramatis.
Walaupun Raden Saleh berada dalam bingkai romantisisme, tetapi tema-tema lukisannya kaya variasi, dramatis dan mempunyai élan vital yang tinggi. Karya-karya Raden Saleh tidak hanya sebatas pemandangan alam, tetapi juga kehidupan manusia dan binatang yang bergulat dalam tragedi. Sebagai contoh adalah lukisan “Een Boschbrand” (Kebakaran Hutan), dan “Een Overstrooming op Java” (Banjir di Jawa), “Een Jagt op Java” (Berburu di Jawa) atau pada “Gevangenneming van Diponegoro” (Penangkapan Diponegoro). Walaupun Raden Saleh belum sadar berjuang menciptakan seni lukis Indonesia, tetapi dorongan hidup yang diungkapkan tema-temanya sangat inspiratif bagi seluruh lapisan masyarakat, lebih-lebih kaum terpelajar pribumi yang sedang bangkit nasionalismenya.
Noto Soeroto dalam tulisannya “Bi het100” Geboortejaar van Raden Saleh (Peringatan ke 100 tahun kelahiran Raden Saleh), tahu 1913, mengungkapkan bahwa dalam masa kebangkitan nasional, orang Jawa didorong untuk mengerahkan kemampuannya sendiri. Akan tetapi, titik terang dalam bidang kebudayaan (kesenian) tak banyak dijumpai. Untuk itu, keberhasilan Raden Saleh diharapkan dapat membangkitkan perhatian orang Jawa pada kesenian nasional.
Lukisan S. Sudjojono
Tjap Go Meh / Tjap Go Meh (1940)
Jika pada lukisan “Di depan Kelamboe Terbuka” ekspresi Sudjojono terlihat sunyi tetapi mencekam , maka dalam karya “Tjap Go Meh”, 1940 ini, ia mengungkapkan emosinya dengan meluap-luap. Dalam lukisan karnaval perayaan keagamaan Cina tersebut, selain dihadirkan suasana hiruk pikuk muncul nuansa ironi. Ironi itu bisa sebatas pada karnaval yang meluapkan berbagai emosi secara absurd, namun lebih jauh lagi bisa mengandung komentar ketimpangan sosial. Hal itu mengingat setting sosial tahun pembuatan karya, adalah pada masa depresi ekonomi, tekanan pemerintah kolonial yang makin keras pada para nasionalis, dan euphoria menjelang kedatangan Jepang.
Pada latar depan, terlihat seorang wanita dalam tarian dan gandengan seorang bertopeng, diapit oleh seorang ambtenar yang berdasi dan seorang pemusik bertopeng buaya. Di sisi lain ada seorang kerdil yang berdiri tegak temangu-mangu, sedangkan di latar belakang berombak masa yang berarak dan menari dalam kegembiraan. Walaupun lukisan ini berukuran kecil, namun Sudjojono benar-benar telah mewujudkan kredo jiwo ketoknya dalam melukis. Dalam “Tjap Go Meh” ini terlihat spontanitas yang meluap tinggi. Deformasi orang-orang dalam arakan dan warna-warnanya yang kuat, mendukung seluruh ekspresi yang absurd itu.
Sudjojono dalam masa Persagi dan masa Jepang berusaha merealisir seni lukis Indonesia baru, seperti yang sangat kuat disuarakan lewat tulisan-tulisan dan karyanya. Jiwa semangat itu adalah menolak estetika seni lukis Mooi Indie yang hanya mengungkapkan keindahan dan eksotisme saja. Dengan semangat nasionalisme, Sudjojono ingin membawa seni lukis Indonesia pada kesadaran tentang realitas sosial yang dihadapi bangsa dalam penjajahan. Di samping itu, dia ingin membawa nafas baru pengungkapan seni lukis yang jujur dan empati yang dalam dari realitas kehidupan lewat ekpresionisme. Kedua masalah yang diperjuangkan tersebut, menempatkan Sudjojono sebagai pemberontak estetika “Mooi Indie” yang telah mapan dalam kultur kolonial feodal. Lukisan Sudjojono “Di Depan Kelamboe Terbuka” dan “Tjap Go Meh” ini, merupakan implementasi dari perjuangan estetika yang mengandung moral etik kontekstualime dan nasionalisme. Dengan kapasitas kesadaran dan karya-karya yang diperjuangkan, banyak pengamat yang menempatkan Sudjojono sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia.
Tjap Go Meh / Tjap Go Meh (1940)
Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 73 x 51 cm, Inv. 515/SL/BLukisan Basuki Abdullah
Kakak dan Adik / Brother and Sister (1978)
Lukisan Basuki Abdullah yang berjudul “Kakak dan Adik”, 1978 ini merupakan salah satu karyanya yang menunjukkan kekuatan penguasaan teknik realis. Dengan pencahayaan dari samping, figur kakak dan adik yang dalam gendongan terasa mengandung ritme drama kehidupan. Dengan penguasaan proporsi dan anatomi, pelukis ini menggambarkan gerak tubuh mereka yang mengalunkan perjalanan sunyi. Suasana itu, seperti ekspresi wajah mereka yeng jernih tetapi matanya menatap kosong. Apalagi pakaian mereka yang bersahaja dan berwarna gelap, sosok kakak beradik ini dalam selubung keharuan. Dari berbagai fakta tekstual ini, Basuki Abdullah ingin mengungkapkan empatinya pada kasih sayang dan kemanusiaan.
Namun demikian, spirit keharuan kemanusiaan dalam lukisan ini tetap dalam bingkai romantisisme.Oleh karena itu, figur kakak beradik lebih hadir sebabagi idealisme dunia utuh atau bahkan manis, daripada ketajaman realitas kemanusiaan yang menyakitkan. Pilihan konsep estetis yang demikian dapat dikonfirmasikan pada semua karya Basuki Abdullah yang lain. Dari beberapa mitologi, sosok-sosok tubuh yang telanjang, sosok binatang, potret-potret orang terkenal, ataupun hamparan pemandangan, walaupun dibangun dengan dramatisasi namun semua hadir sebagai dunia ideal yang cantik dengan penuh warna dan cahaya.
Berkaitan dengan konsep estetik tersebut, Basuki Abdullah pernah mendapat kritikan tajam dari Sudjojono. Lukisan Basuki Abdullah dikatakan sarat dengan semangat Mooi Indie yang hanya berurusan dengan kecantikan dan keindahan saja. Padahal pada masa itu, bangsa Indonesia sedang menghadapi penjajahan, sehingga realitas kehidupannya sangat pahit. Kedua pelukis itu sebenarnya memang mempunyai pandangan estetik yang berbeda, sehingga melahirkan cara pengungkapan yang berlainan. Dalam kenyataan estetik Basuki Abdullah yang didukung kemampuan teknik akademis yang tinggi tetap menempatkannya sebagai pelukis besar. Hal itu terbukti berbagai penghargaan yang diperoleh, juga dukungan dari masyarakat bawah sampai kelompok elite di istana, dan juga kemampuan bertahan karya-karyanya eksis menembus berbagai masa.
Lukisan-Lukisan Karya Affandi
Lukisan Karya Affandi
Dimana kesempurnaan Manusia itu sendiri adalah terwujud karena adanya kelemahan terbesar yang dimiliki Manusia yaitu hawa nafsu yang cenderung berbuat untuk mengingkari kodrat sebagai makhluk yang sempurna, dan seringkali hawa nafsu digoda oleh berbagai bisikan-bisikan setan yang menyesatkan.
Disini perwujudan dari bisikan-bisikan setan itu dilukiskan Afandi seperti sesosok Topeng-topeng yang berperan sebagai tokoh kejahatan dalam cerita-cerita Jawa.
Dan Topeng itu sendiri cenderung bukan wajah asli dari diri Manusia itu sendiri, dia adalah perwujudan dari bisikan-bisikan jahat yang menutupi hati dari kebenaran, sehingga membentuk karakter dalam tingkah laku dalam kehidupan nyata, kecuali mereka Manusia-manusia yang kuat, sabar, tegar dan selalu mendapat petunjuk dari Tuhan, yang bisa mengendalikan nafsu dengan baik dan benar dari Godaaan bisikan Topeng-topeng kehidupan, sehingga Nafsu menjadi kendaraanya menuju kesempurnaan.
Potret diri Afandi yang dikelilingi Topeng-topeng kehidupan merupakan gambaran dari bagian kehidupanya sebagai manusia yang selalu dikelilingi dengan pilihan manis dan pilihan pahit.
Lukisan ini pernah menjadi incaran para Kolektor dan para pecinta Lukisan, tapi karena dari Pemiliknya yang pada waktu itu tidak pernah berniat menjual Lukisan ini, maka berapapun harga yang ditawarkan tidak pernah dilepas atau dijual.
Namun sekarang Pemilik Lukisan berniat menjualnya, dan merupakan sebuah kesempatan langka bagi anda untuk segera memboyong Koleksi Lukisan Istimewa ini kedalam singgasana anda sebelum terlambat.
Tahun: 1961
Judul : " Potret Diri & Topeng-topeng Kehidupan "
Ukuran : 110cm X 135cm Media : Oil on Canvas
Pelukis: Affandi
Tahun: 1965
Judul : " Kwan Khong "
Ukuran : 100cm X 150cm
Media : Oil on Canvas
Sebagai seorang Seniman Lukis yang memiliki daya ingat tinggi, beliau melukiskan suasana saat upacara adat Bali yang mengandung nilai kultural dan historis yang tinggi.
Media : Oil on Canvas
Obyek matahari selalu menarik perhatian Afandi di beberapa karya beliau sebagai fokus pendukung utama. Warna-warna dingin dan tenang mendominasi Lukisan ini karena melukiskan suasana pagi hari yang cerah.
Di tema Lukisan " Borobudur Pagi Hari " ini Afandi lebih menonjolkan obyek alam sebagai latar belakang (Background ), berbeda dengan tema " Borobudur Sore Hari " yang menggabungkan suasana alam dan aktifitas Masyarakat.
Pelukis: Affandi
Tahun: 1983
Judul : " Borobudur Pagi Hari "
Ukuran : 150cm X 200cm
Media : Oil on Canvas
Pelukis: Affandi
Tahun: 1977
Judul : " Sapi "
Ukuran : 100cm X 120cm
Media : Oil on Canvas
Tahun: 1972
Judul : " Para Pejuang "
Ukuran : 100cm X 135cm
Media : Oil on Canvas
Detail Tanda Tangan Pelukis
Pelukis: Affandi
Tahun: 1977
Judul : " Bunga Matahari "
Ukuran : 90cm X 140cm
Media : Oil on Canvas
Aksi spontanitas goresan cat bertekstur langsung dari tube yang spektakuler, tidak bisa ditemukan pada pelukis-pelukis Maestro lain, merupakan ciri khas tertinggi dari kartya-karya Lukisan Anfandi.
Pelukis: Affandi
Tahun: 1971
Judul : " Ibu dan Anak Menampi Beras "
Ukuran : 90cm X 120cm
Media : Oil on Canvas
Di Karya Lukisan ini Afandi mengangkat tema " Borobudur Sore Hari " yang melukiskan Candi Borobudur dengan suasana alam dan aktifitas Manusia saat sore hari. Permainan warna-warna terang, hangat dan gelap, mengilustrasikan suasana alam dan kehidupan yang mulai menuju keheningan malam.
Aktifitas Manusia yang menjadi obyek pendukung merupakan penggambaran dari suasana kehidupan masyarakat pada masa itu ( saat Afandi terinspirasi membuat karya Lukisan " Borobudur Sore Hari " ).
Tahun: 1983
Judul : " Borobudur Sore Hari "
Ukuran : 98cm X 130cm
Media : Oil on Canvas
Kombinasi warna yang harmoni dan ekspresi spontanitas goresan cat bertekstur ala Afandi yang khas, Menjadikan setiap Lukisan karya Afandi bernilai seni tinggi dan penuh makna mendalam.
Tahun: 1965
Judul : " Kumpulan Ikan "
Ukuran : 120cm X 180cm
Media : Oil on Canvas
Judul : " Bunga Amarilis "
Ukuran : 100cm X 150cm
Media : Oil on Canvas
Merupakan sebuah Koleksi yang sangat berharga untuk anda yang mengidolakan akan sosok potret diri seorang Pelukis Maestro, yang setiap karya-karya Lukisanya memiliki jiwa dan makna yang dalam, dengan nilai seni yang tinggi.
Tema ini diambil oleh sang Maestro Afandi dari inspirasi kahidupan masyarakat pedesaan Jawa. dimana pada waktu itu adu ayam ( sambung ayam ) merupakan bagian dari hobi dan hiburan. Akan tetapi seiring berjalanya watu, kegiatan ini telah dilarang karena seringkali dijadikan sebagai ajang perjudian.
Keunikan dari setiap pelototan cat yang terbentuk langsung dari ekspresi jiwa seorang Pelukis Maestro dengan kombinasi warna yang sempurna, menjadikan karya Lukisan ini istimewa. Dan merupakan sebuah Koleksi berharga dengan niai seni tinggi untuk anda miliki.
Pelukis: Affandi
Judul : " Pengemis Berkaki Buntung "
Ukuran : 61cm X 103cm
Media : Oil on Canvas